PAKET SUBSIDI PENDIDIKAN
( Suatu
pemikiran tentang alternatif kebijakan pembiayaan pendidikan )
Abstrak
Adannya Undang-undang No. 22/99 dan Undang-undang No.
25/99 memberikan dampak yang amat serius terhadap sistem penyelenggaraan
pendidikan dan terhadap kebijakan pembiayaan pendidikan. Perubahan pola
sentralistik di bidang kebijakan pendidikan dapat berupa perubahan sistem
manajemen maupun pembiayaan pendidikan. Disamping itu penetapan 20% APBN untuk
anggaran pendidikan, memang memberikan angin segar bagi kemajuan pendidikan di Indonesia.
Namun demikian selama ini ternyata sistem pendidikan nasional menyebabkan
alokasi anggaran pendidikan hanya
terfokus kepada penyelenggaraan pendidikan oleh instansi
pemerintah. Sekolah-sekolah swasta yang
sudah membantu dengan sukarela ikut menyelenggarakan pendidikan bagi masyarakat hanya didukung oleh anggaran pendidikan dari
keuangan publik yang sangat minim.
Mengacu
pada terjadinya dikhotomi perlakuan anggaran itulah, tulisan ini mencoba
memberikan suatu alternatif kebijakan anggaran pembiayaan pendidikan yang
dipandang lebih proporsioanal baik dalam proporsi antara daerah / propinsi /kodaya/kabupaten
maupun antara negeri dan swasta.
Pendahuluan
Anggaran pendidikan sebesar 20% dari total APBN sudah
digariskan oleh pemerintah.. Kebijakan ini jelas mencerminkan kesadaran dan
kepedulian akan pentingnya pendidikan bagi pembangunan sebuah bangsa. Bersamaan dengan era otonomi daerah,
memungkinkan terjadinya variasi anggaran antar daerah. Penyebab variabilitas tersebut adalah adanya
perbedaan kesadaran akan pentingnya pendidikan, konstelasi politik, dan vested
interest lainnya di berbagai daerah,.
Dibalik kebijakan yang positif itu, tentunya perlu
dicermati bahwa selama ini ternyata sistem pendidikan nasional menyebabkan alokasi
anggaran pendidikan terfokus kepada
penyelenggaraan pendidikan oleh instansi pemerintah. Sekolah-sekolah
swasta yang sudah membantu dengan sukarela ikut menyelenggarakan pendidikan
bagi masyarakat hanya didukung oleh
anggaran pendidikan dari keuangan publik yang sangat minim. Sebagaimana kita
ketahui sebagian besar yayasan
pendidikan swasta didirikan oleh yayasan pendidikan yang miskin seperti yayasan di bawah Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama, Taman Siswa, dan
sebagainya. Asumsi atau pandangan bahwa swasta yang mendirikan pendidikan
bermaksud beramal sebagaimana prakarsa orang kaya di negara maju, sama
sekali berbeda dengan kenyataan. Banyak
pendidikan swasta hanya didirikan dengan maksud mulia, tetapi dengan kemampuan pembiayaan minimal.
Bagaimana kondisi sosial ekonomi guru di berbagai daerah,
baik guru negeri maupun swasta,
merupakan pertanyaan mendasar yang perlu
diketahui secara publik sebagai bahan formulasi kebijakan. Guru merupakan
komponen utama dalam peningkatan mutu pendidikan. Guru di samping diperlukan
secara kuantitas, juga perlu dilihat kualitasnya. Pencapaian kualitas dapat
ditempuh dari pendidikan formal, latihan–latihan, maintenance keilmuannya dilakukan dengan membaca
buku-buku dan jurnal keilmuan secara mandiri. Untuk mencapai peningkatan kualitas
mandiri tersebut sangat terkait dengan kondisi
sosial ekonomi, terutama pendapatan utamanya dari gaji .
Dengan
demikian permasalahan utama dalam sistem angaran pendidikan kita, adalah keterkaitan
antara sistem pembiayaan pendidikan, besar anggaran pendidikan, dan akibatnya
terhadap kondisi ekonomi guru sebagai salah satu pita kualitas pendidikan.
Secara lebih rinci permasalahan pokok tersebut terkait erat dengan kebijakan
anggaran pendidikan antar daerah sebagai penunjang kualitas pendidikan,
khususnya: 1) pola penyebaran anggaran pendidikan yang mencerminkan perimbangan
antar daerah; 2) sistem distribusi dan proporsi anggaran pendidikan untuk
sekolah negeri dan swasta; 3) peningkatan kondisi sosial-ekonomi tenaga
kependidikan baik negeri maupun swasta; dan 4) formulasi pembiayaan pendidikan,
baik negeri maupun swasta yang bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan.
Sistem dan Pola
Pembiayaan
Adannya Undang-undang No. 22/99 dan Undang-undang
No. 25/99 memberikan dampak yang amat serius terhadap sistem penyelenggaraan
pendidikan dan terhadap kebijakan pembiayaan pendidikan. Perubahan pola
sentralistik di bidang kebijakan pendidikan, dapat berupa perubahan sistem
manajemen maupun pembiayaan pendidikan. Namun demikian kekhawatiran yang
diprediksi sebelumnya benar-benar mulai tampak, khususnya munculnya gejala
anarki dalam penyelenggaraan pendidikan nasional termasuk pembiayaan.
The state of art pembiayaan pendidikan nasional hanya
dapat diungkap melalui data yang didokumentasikan dalam berbagai laporan dan
hasil penelitian. Dua aspek utama pembiayaan yaitu revenue dan alokasi, menurut
Gaffar, M.F. (2000: 11) tidak
mudah ditelusuri secara lengkap. Kebijakan pembiayaan dan kebijakan pendidikan dalam budgetary process dan dalam
alokasi dan distribusinya tidak selalu dapat ditelusuri secara konsisten.
Terdapat kecenderungan umum, bahwa
antara kebijakan pembiayaan dan kebijakan pendidikan masing-masing
berjalan sendiri-sendiri, karena menciptakan kondisi dan sinkronisasi kebijakan
pada tingkat nasional tampaknya tidak mudah dilakukan. Selanjutnya ditegaskan
bahwa sesuai visi dan misi serta tujuan pendidikan nasional, maka kebijakan
pembangunan pendidikan dititik beratkan kepada 4 kebijakan, yaitu : 1) Peningkatan mutu pendidikan; 2) Pemerataan; 3) Relevansi; dan 4) Effisiensi Manajemen.
Ditinjau dari segi jenis dan jenjang, kebijakan pembangunan pendidikan
diletakkan pada fokus: Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun.
Jenjang Pendidikan menengah tidak menerima prioritas, demikian pula untuk
pendidikan kejuruan kurang memperoleh tekanan. Pada jenjang pendidikan tinggi,
kebijakan selalu diletakkan kepada pengembangan sains dan teknologi, dan tidak
pada ilmu-ilmu sosial maupun pada ilmu pendidikan termasuk pendidikan guru.
Keseluruhan prioritas dan kebijakan tersebut bila dikaitkan dengan pembiayaan,
amat sulit ditelusuri dampak kebijakan terhadap alokasi dana.
Prioritas sulit dikaitkan dengan besarnya volume pembiayaan yang
dialokasikan kepada pendidikan baik jenis, jenjang maupun aspek tertentu dari
pendidikan tersebut. Dalam kaitannya dengan upaya membangun masyarakat Indonesia baru, kebijakan tersebut juga sulit diterapkan, karena adanya
krisis nasional yang berkepanjangan yang sekaligus menyebabkan diperlukannya
shif kebijakan yang dititikberatkan
kepada penyelamatan penyelenggaraan pendidikan nasional sehingga dapat
mempertahankan apa yang telah dicapai.
Dari uraian di atas, adanya krisis multidimensional yang
berkepanjangan berdampak kepada
keseluruhan kebijakan pembiayaan pendidikan dan kepada implementasi penyelenggaraan pendidikan nasional secara
keseluruhan. Perkembangan populasi usia sekolah, tuntutan globalisasi dan pasar
bebas, tuntutan untuk merespon perkembangan teknologi dalam berbagai sektor
kehidupan terutama dalam sektor bisnis dan ekonomi pada umumnya, merupakan
tekanan berat terhadap dunia pendidikan nasional, yang belum dapat direspon secara
berencana dan sistematis. Otonomi daerah
yang mengemuka akhir-akhir ini menuntut pendidikan untuk melakukan
reorganisasi sistem secara total, dan ini memerlukan persiapan, perencanaan
yang tidak dapat terhindar dari pembiayaan yang tinggi.
Perubahan atau reformasi pendidikan nasional dengan adanya otonomi daerah
tidak dapat dihindarkan. Dampak otonomi
daerah tidak hanya pada sistem pendidikan, tetapi juga pada sistem pembiayaan
pendidikan yang hingga saat ini masih tetap sentralistik. Dalam kultur anggaran
di Indonesia, secara makro anggaran sektor pendidikan merupakan bagian
terintegrasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Secara total,
anggaran sektor pendidikan yang mencapai
20% tidak hanya dialokasikan kepada Depdiknas, tetapi kepada semua departemen
pemerintah yang menyelenggarakan satuan dan jenis pendidikan seperti Depag dan
Depdagri.
Dalam konteks pembiayaan sekolah, terdapat suatu pola yang menarik, di mana
distribusi alokasi anggaran, didasarkan pada jenis dan jenjang pendidikan serta
berdasarkan sumber dana. Dari total
anggaran, ternyata 66 % anggaran pendidikan dialokasikan kepada
persekolahan dan hanya 28 % yang dialokasikan kepada perguruan tinggi.
Secara komprehensif, sebagian besar dana pendidikan dialokasikan kepada
Depdiknas (51%), sejumlah 38% dialokasikan kepada Depdagri, dan hanya 4% yang
dialokasikan kepada Depag, walaupun jumlah sekolah dan jumlah murid yang besar.
Selain itu, sekolah swasta terutama pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah, tidak menggantungkan sumber dananya dari
pemerintah baik melalui Depdiknas,
Depdagri maupun Depag. Dana pendidikan yang dialokasikan kepada Depdagri
didistribusikan khusus untuk Sekolah Dasar, sedangkan dana yang dialokasikan
kepada Depag disebar kepada seluruh
jenjang dari jenjang madrasah pada
Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi negeri yang berada dalam tanggung jawab departemen tersebut.
Pengeluaran total untuk
sekolah negeri maupun swasta berdasarkan jenjang pendidikan dan sumber dana
menunjukkan “proporsi yang tidak imbang”. Pengeluaran untuk sekolah negeri mencapai 94% berasal dari
pemerintah dan hanya 6% dari keluarga dan masyarakat. Sebaliknya sekolah
swasta, sebagian besar dana berasal dari orang tua atau masyarakat mencapai 86%
dan hanya 14% berasal dari dana
pemerintah.
Berdasarkan proporsi di atas, perlu diketahui unit cost per-siswa berdasarkan jenis
dan jenjang persekolahan, baik
negeri maupun swasta. Pemaparan unit cost persiswa pertahun dapat memberikan
gambaran nyata tingkat kemampuan bangsa dalam upaya mencerdaskan kehidupan
bangsa secara minimal sesuai kondisi kemampuan ekonomi nasional. Berdasarkan
sumber ADB 1998 diketahui bahwa unit cost
persiswa untuk Sekolah Dasar negeri dari berbagai sumber dana adalah
Rp.190.000,- pertahun. Untuk SLTP sebesar Rp.287.000,-, untuk SMU Rp.407.000,-, dan untuk SMK Rp.497.000,-
pertahun. Unit cost persiswa untuk
sekolah-sekolah swasta ternyata lebih kecil, yaitu untuk Sekolah Dasar
Rp.176.000,- per-siswa, untuk SLTP Rp.275.000,-
persiswa, untuk SMU
Rp.342.000,- per-siswa, dan untuk SMK sebesar Rp.270.000,- persiswa untuk
setiap tahunnya.
Otonomi Daerah
Pemberdayaan
masyarakat daerah melalui pelaksanaan otonomi daerah merupakan peluang masa
depan yang memiliki banyak harapan. Yang menjadi permasalahan besar adalah
apakah SDM dan kemampuan serta kesiapan daerah memungkinkan untuk menerima
pendelegasian tersebut.
Konsekuensi
logis dari otonomi pendidikan sekarang ini adalah perlunya melakukan penataan
kembali sistem manajemen pendidikan daerah otonom. Artinya, di daerah otonom
(Propinsi) perlu dipertimbangkan munculnya satu sistem pengelolaan pendidikan. Sistem
manajemen yang bersifat multi-sistem yang dipandang tidak efisien harus dilebur dan diciptakan suatu bentuk
sistem tunggal yang bertanggung jawab dalam mengelola keseluruhan
penyelenggaraan pendidikan di daerah. Dengan adanya integrasi sistem
manajemen ini maka efisiensi pengelolaan
dapat diwujudkan, pemerataan dan keadilan dapat dibangun, dan kesempatan
pendidikan untuk setiap orang dapat diberikan
dengan sebaik-baiknya.
Hubungannya
dengan sistem pembiayaan pendidikan daerah, dipandang perlu untuk mengkaji
pengembangan model-model yang ada. Para
ahli teori pembiayaan pendidikan telah lama mengembangkan berbagai model
pembiayaan pendidikan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan secara merata dan
adil. Salah satu model yang dapat diangkat dalam kajian ini adalah suatu konsep
yang disebut dengan Foundation Program
yang dikembangkan di USA dalam membiayai pendidikan untuk setiap negra bagian.
Menurut konsep ini, dalam konteks implementasi otonomi daerah dan kaitannya dengan mengembangkan
sistem pembiayaan pendidikan daerah, pertama-tama perlu dibangun landasan dan
prinsip sebagai pegangan. Prinsip-prinsip yang dapat diadopsi dalam kaitannya
dengan pelaksanaan otonomi daerah adalah : 1) Pemerataan dan Keadilan (equality and equity) untuk memperoleh
kesempatan pendidikan tidak hanya antar
daerah otonom di satu propinsi tapi antar propinsi dan antar daerah otonom.; 2). Equalizing
power pada tingkat daerah otonom pada level kabupaten dan kotamadya, pada
tingkat propinsi untuk seluruh daerah otonom di propinsi, dan tingkat pusat
untuk seluruh daerah otonom pada setiap propinsi.; 3). Perimbangan keuangan
baik pada tingkat propinsi, maupun pada tingkat pusat harus berfungsi sebagai
perekat persatuan dan kesatuan bangsa dan sebagai infrastruktur untuk
melaksanakan equalizing power dalam sistem pembiayaan pendidikan.; 4) Pada tingkat propinsi, sistem pembiayaan pendidikan hendaknya
didasarkan kepada prinsip partnership
antara sumber dana untuk propinsi dan sumber dana daerah kabupaten dan
kotamadya; 5) Kemampuan daerah dan daya beli masyarakat
daerah harus dijadikan dasar untuk menentukan pola distribusi dana untuk
membiayai pendidikan di daerah tersebut.
Prinsip-prinsip
di atas mengandung unsur-unsur foundation programs dan equalization programs untuk kemudian dipergunakan
sebagai dasar distribusi sumber dana bagi membiayai berbagai jenis dan jenjang
pendidikan sesuai dengan kebutuhan pendidikan dari msayarakat. Dua
model utama sistem pembiayaan pendidikan dengan pola fikir otonomi daerah itu
adalah:
1.
Flat Grants;
2.
Equalization
Grants.
Dalam flat grants,
kemampuan daerah atau daya beli masyarakat tidak dijadikan faktor variasi. Faktor yang menentukan besarnya alokasi
adalah besarnya enrollment
siswa, dan pembobotan yang dipadukan ke dalam perhitungan unit cost persiswa pertahun. Sedangkan di dalam
equalization grants, daya beli
masyarakat atau local efforts merupakan
salah satu faktor dalam variasi pembiayaan. Ini berarti daerah yang
kemampuannya lemah akan memperoleh dana yang lebih banyak dibanding daerah
dengan kemampuan daya belinya tinggi.
Konsekueansinya, kontribusi daerah terhadap pendidikan
harus lebih besar untuk mengimbangi jumlah dana yang dialokasikan oleh daerah yang memiliki equalizing power, seperti daerah
propinsi. Equalization power ini
memungkinkan daerah yang lemah akan tetap memiliki jumlah dana yang memadai
karena adanya bantuan untuk pemerataan dan keadilan dalam pendidikan.
Pembiayaan dan Kinerja Pendidikan
Tentunya
perlu dicermati secara seksama pelaksanaan otonomi daerah, karena dari
pengalaman di sejumlah Negara, banyak kendala dihadapi yang mengakibatkan
desentralisasi tidak menghasilkan perubahan yang positif dalam kinerja sistem
pendidikan (Fiske, 1996:102; Hannaway & Carnoy, 1993:114; Jiyono dkk. Dalam
Jalal dan Supriadi, 2001: 97). Rancangan yang baik dan tujuan yang ideal saja
tidak cukup tanpa disertai komitmen yang penuh untuk melaksanakannya. Apa yang terjadi di Venezuella dapat
terjadi di mana saja. Hanson ( Supriyadi
2003:11) melukiskan nasib desentralisasi pendidikan di negara itu
sebagai “sangat elegan dalam rancangannya, comprehensive
dalam cakupannya, mulia atau ideal dalam tujuannya, dan sempurna pula
kegagalannya”.
Perubahan-perubahan
yang terjadi pada kinerja pendidikan di tingkat lokal, dengan indikator utama
berupa pemerataan, mutu, dan akumulasi sumberdaya, merupakan tolok ukur
keberhasilan desentralisasi pendidikan. Sebagai pembanding keberhailan
desentralisasi pendidikan, di sini dipaparkan hasil studi Fiske tahun 1996 di
beberapa negara wailayah Amerika Selatan, yang
menyimpulkan bahwa dampak
desentralisasi terhadap kemajuan pendidikan tidak sehebat yang diteorikan. Hal
ini tampak dalam indikator berikut: (1)Tidak ada bukti yang menunjukkan meningkatnya
akumulasi sumberdaya pendidikan yang digali dari masyarakat dan
pemerintah daerah setelah dilakukannya desentralisasi; (2) Dalam meningkatkan
jumlah siswa (enrollment) dan
efisiensi internal pendidikan, desentralisasi bukan merupakan faktor yang
penting. Meskipun enrollmet meningkat
dan angka mengulang kelas serta putus sekolah menurun, kecenderungan ini
bersifat umum, dalam pengertian bahwa hal yang sama terjadi juga di
negara-negara lain yang tidak melakukan desentralisasi pendidikan. (3) Desentralisasi, tidak memberi dampak yang
berarti bagi peningkatan mutu pendidikan,
bahkan setelah desentralisasi, kesenjangan mutu antar sekolah semakin lebar.
Pengalaman Negara-negara lain itu memberikan
pelajaran bahwa setiap langkah desentralisasi perlu diikuti oleh pemantapan
sistem penyelenggaraan pendidikan yang paralel dengan penyiapan sumberdaya
manusianya terutama di tingkat daerah/lokal dan sekolah, sehingga mereka
memiliki komitmen, integritas, dan konsistensi dalam mencapai sasaran-sasaran pendidikan.
Filipina, misalnya. Yang telah bergerak jauh dalam mendesentralisasikan urusan
pendidikannya menetapkan sanksi yang berat terhadap setiap pelanggaran dan
salah urus dalam pengelolaan pendidikan, terutama menyangkut dana.
Desentralisasi / otonomi
daerah memang membangkitkan banyak harapan pada masyarakat dan praktisi
pendidikan di daerah yang justru bisa berbahaya apabila harapan itu tidak
menjadi kenyataan, atau desentralisasi justru
lebih tidak menguntungkan dibanding dengan masa sentralisasi. Gelagat ke arah itu mulai kelihatan, misalnya
terjadinya “sentralisasi baru di daerah”, bertambahnya pungutan kepada orang tua murid tanpa disertai
transparansi dan akuntabilitas dalam
penggunaan dananya, sulit dan berbelit-belitnya sekolah untuk mendapatkan dana operasional dari
pemerintah kabupaten/ kodya, dan tumbuhnya semangat kedaerahan yang dapat merugikan masa depan Negara
Kesatuan ini.
Untuk hal yang disebut terakhir, perlu
digarisbawahi tentang pengertian otonomi
daerah dalam pendidikan, yaitu, “tidak
ada otonomi pendidikan, yang ada adalah otonomi daerah dalam penyelenggaraan
pendidikan” dengan tetap mengacu kepada rambu-rambu atau standar-standar yang telah
ditetapkan secara nasional. Jadi tidak
ada sistem pendidikan yang eksklusif
propinsi atau kabupaten/ kodya, yang ada adalah sistem pendidikan
nasional. Pernyataan tentang
tidak adanya sistem pendidikan yang eksklusif tersebut dijamin oleh pasal
31 UUD 1945 ( hasil amandemen tahun 2002
) yang salah satu ayatnya menyatakan, “Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional, yang
meningkatkan keilmuan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
diatur dengan Undang-undang” (ayat 3). Ayat ini merupakan penekanan dari
apa yang tercantum dalam UUD 1945 yang diamandemen. Dikatakan penting karena
pasal ini menekankan bahwa di Indonesia
hanya ada satu sistem pendidikan, yaitu sistem pendidikan nasional Indonesia.
Hal yang patut menjadi
bahan pertanyaan adalah: dengan instrumen apa “satu sistem pendidikan nasional”
itu diwujudkan ? Instrumen itu antara lain adalah adanya jalur, jernis, dan
jenjang pendidikan yang berlaku secara
nasional, adanya kurikulum nasional, evaluasi belajar yang bersifat nasional,
dan standar-standar yang beraku secara nasional, meskipun tingkat
keterlaksanaannya di daerah-daerah mungkin saja berbeda-beda. Karakter lain
yang mengikat adalah adanya tiga “core
value” dalam Sisdiknas, yaitu imtaq, akhlak mulia, dan kecerdasan yang
harus menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Dengan mengacu kepada
uraian di atas, maka untuk mengukur sejauh manakah otonomi daerah memberikan
kontribusi positif terhadap kemajuan pendidikan pada saat ini dan kelak, dapat
digunakan beberapa kriteria sebagaimana dikatakan Supriadi (2000:14), sebagai berikut: 1) Secara
kuantitatif, apakah terjadi peningkatan angka partisipasi pendidikan pada semua
jenis dan jenjang pendidikan yang
ditangani oleh daerah ? Apakah angka
putus sekolah dan tinggal kelas sebagai indikator efisiensi internal pendidikan
menurun ? 2) Secara kualitatif, apakah hasil belajar siswa meningkat dibanding
dengan pada masa sebelum otonomi daerah ? Apakah budaya sadar mutu meningkat di
kalangan aparatur pendidikan ? 3) Apakah partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan dalam bentuk kontribusi dana, sumbangan pemikiran,
keterlibatan dalam pengambilan
keputusan, rasa memiliki terhadap sekolah juga meningkat ? 4) Apakah tingkat kepuasan orang tua dan masyarakat atas penyelenggaraan
pendidikan bertambah setelah otonomi daeah atau justru menurun ? Apakah
persoalan–persoalan lokal (daerah,
komunitas, sekolah) yang sebelumnya sulit dipecahkan dapat dipecahkan setelah
dikembangkannya otonomi daerah ? 5) Apakah kondisi sarana dan prasarana
pendidikan ( gedung, fasilitas belajar–mengajar) semakin baik, tetap, atau justru semakin jelek setelah
otonomi daerah ? 6) Apakah dana untuk sektor pendidikan yang dialokasikan oleh
pemerintah daerah dalam RAPBD semakin meningkat, tetap, atau justru menurun
setelah otonomi daerah ? 7) Apakah kinerja guru dan tenaga kependidikan lainnya
(seperti kehadiran, kreativitas, komitmen pada mutu) dan tingkat kepuasan
mereka meningkat dibandingkan dengan sebelum otonomi daerah, atau justru
sebaliknya ?
Kecenderungan positif atas jawaban pertanyaan di atas, memberi
petunjuk tentang adanya perubahan yang diinginkan, sesuai dengan apa yang
dicita-citakan oleh otonomi daerah, dan
sekaligus sebagai indicator bahwa perhatian pemerintah daerah terhadap
pendidikan meningkat.
Dalam perspektif
pembiayaan pendidikan, pelaksanaan otonomi daerah mengakibatkan terjadinya
perubahan dalam sistem alokasi dan manajemen pembiayaan pendidikan.. Kewenangan
pemerintah pusat terbatas pada penetapan kebijakan yang bersifat makro dalam
bentuk pengalokasian anggaran untuk sekolah-sekolah dengan mengikuti standar
rata-rata, sedangkan kebijakan–kebijakan yang bersifat mikro, seperti alokasi
dan distribusi anggaran pendidikan ke sekolah menjadi kewenangan daerah. Perubahan
sistem pendidikan dari sentralisasi ke desentralisasi menuntut perubahan pula
dalam sistem alokasi pembiayaan pendidikan, antara lain dengan menerapkan
formula pembiayaan pendidikan yang didasarkan atas kebutuhan riil sekolah. Formula pembiayaan yang dimaksud di sini
adalah, “an agreed set of criteria for
allocating resources to schools which are impartially applied to each school”
(Caldwell & Ross, 1999:71; Mc.Mahon,
2001:131). Formula dimaksud diperlukan untuk menjawab pertanyaan seperti,
“berapakah jumlah dana yang perlu dialokasikan untuk sekolah-sekkolah” dan
“faktor-faktor apakah yang harus diperhitungkan dalam menentukan alokasi dana
untuk sekolah tertentu ?” Jawaban
yang jelas terhadap kedua pertanyaan itu akan mampu mencegah, atau paling tidak
mengurangi terjadinya bias atau
penyimpangan lainnya dalam menentukan alokasi dana karena politik atau kepentingan
lainnya ditingkat lokal. Di samping itu, perlunya formula pembiayaan yang
berbasis kebutuhan sekolah terkait dengan terjadinya pergeseran dalam filosofi
dan kebijakan pendidikan .
Alternatif Pembiayaan Pendidikan yang
Berkeadilan
Bertolak pada formula
pembiayaan pendidikan yang berbasis kebutuhan sekolah, suatu alternatif yang
telah dikembangkan di negara-negara bagian di AS yang dikembangkan oleh
Friedman ( Fisher, 1996: 324) adalah dengan sistem “voucher”. Filosofi sistem ini, adalah mencari pola yang dianggap
paling adil dalam pengkontribusian dana pendidikan kepada semua lembaga
pendidikan yang ada, baik negeri maupun swasta. Alasan utamanya adalah adanya
partisipasi masyarakat/ swasta dengan pola swadana bersedia membantu program
pemerintah untuk andil dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui
penyelenggaraan sekolah “swasta”. Tentunya wajar jika kepada sekolah swasta
dimaksud juga memperoleh bagian yang proporsional atas alokasi dana pendidikan
dari pemerintah yang nota-bene adalah uang rakyat. Sistem voucher dimaksud adalah :
Under an education voucher system, all students would
receive a voucher worth $ X per year
from the Government, which could only be spent
on education at any school of the student’s choice. For instance, a voucher worth $5000 might fully cover the cost of
attending the local public school or could be supplemented with private funds to cover tuition at a competing private school. In fact, it would be possible
that there be only private schools. A tuition tax-credit plan would have a similar effect. Families would receive a
tax-credit for all or part of private school tuition, so that the government
would provide for a minimum amount of
education for all student regardless of the school selected. The concept behind
these plans is that the combination of individual choice of school coupled with
direct competition among them would serve to improve the overall education system. There are at
least to concerns about this plans. One is that a greater division of school
based on class or student ability would arise than exists now. Secondly, some
argue that one important function of public schools is to educate students
about differences among people partly by
bringing together students from very different backgrounds.
Less of that might occur if individuals choose schools directly rather than
indirectly through the choice of residential community.
Nama sistem pembiayaan ini adalah
“paket subsidi pendidikan”. Komponen kebijakannya: (a) Tidak membedakan institusi di mana siswa
belajar. Sesuai amanat pembukaan dan isi UUD’45, yang dibiayai adalah rakyat
(siswa) dan bukannya institusi; (b)
Pada prinsipnya paket subsidi pendidikan berupa dua hal yaitu ”cheque pendidikan” plus bantuan
guru-pemerintah; (c) Cheque
pendidikan adalah cheque yang
dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan atau pemerintah daerah sebagai bagian
dari dana pemerintah pusat/ bisa juga daerah. Untuk membiayai pendidikan dengan
cheque pendidikan pada dasarnya
diberikan kepada siswa, terserah siswa menggunakan di insitusi pemerintah atau
swasta; (d) Bantuan guru adalah alokasi guru yang dibayar yang bisa
ditempatkan/ dipindahkan secara dinamis mengikuti perubahan dan perimbangan
jumlah siswa di setiap sekolah sebagai contoh: bisa menempatkan/ memindahkan
guru dengan rasio 1: X untuk sekolah negeri dan 1 : X/2 untuk sekolah swasta. Hal ini berubah dinamis tergantung di mana
siswa membawa cheque pendidikannya.
Ini artinya pemerintah mensubsidi 100 % biaya guru jika siswa memilih institusi
negeri, dan mensubsidi 50 % biaya guru jika siswa memilih institusi swasta.
Sedangkan subsidi untuk operasional sekolah yang diwujudkan dalam cheque, tidak dibedakan institusi negeri
dan swasta; dan (e) Sistem tersebut akan mendorong sekolah menawarkan jasa
pendidikan degan kualitas terbaik, supaya cheque
pendidikan dialokasikan kepada sekolah-sekolah tersebut; (f) Sumber cheque pendidikan adalah APBN/APBD yang
sekarang berlaku pengalihan subsidi BBM.
Jika konsep “sistem voucher”
ini menjadi alternatif bagi pembenahan sistem pembiayaan pendidikan di
Indonesia, sistem tersebut tentunya harus dimodifikasi dengan mempertimbangkan
berbagai asumsi terkait. Asumsi dimaksud meliputi: 1) Telah tertanamnya budaya
mutu dalam penyelenggaraan pendidikan, 2) Ketersediaan instrumen “input” pendidikan yang berkualitas, 3) adanya
partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat terhadap penyelenggaraan
pendidikan, 4) Peran pemerintah yang terfokus pada aspek fasilitator di bidang
penyelenggaraan pendidikan, dan 5) Kelengkapan komponen pendukung terciptanya
kualitas penyelenggaraan pendidikan lainnya.
Kesimpulan
Sistem paket subsidi
pendidikan sebagai modifikasi ’sistem voucher’, akan memberi kejelasan adanya
keterkaitan antara kondisi sosial-ekonomi guru dan besarnya APBD, status institusi
di mana guru bekerja, ekonomi masyarakat, dan sistem subsidi pendidikan antar
daerah; serta antara sistem pembiayaan
pendidikan dengan kualitas pendidikan.
Keterkaitan antar variabel tersebut,
paling tidak dapat membantu mengurai ’kerumitan’ sistem anggaran pendidikan antar
daerah dalam era otonomi daerah. Dengan demikian diharapkan menjamin pula terciptanya
sistem anggaran pendidikan yang berkeadilan dalam konotasi antar daerah dan ’antar
negeri / swasta’.
Daftar Pustaka
Caldwel, B.J., Levacic, R. & Ross, K.N.
(1999). The Role of Formula
Funding of Schools in Different
Educational Policy Contexts. Dalam Ross, K.N. & Levacic, R., eds., Needs-based Resource Allocation in Education
via Formula Funding of Schools. Paris:
International Institute for Educational Planning, UNESCO
Ditjen PUOD. (1993
) . Penelitian dan Pengkajian Satuan Biaya Sekolah Dasar. Jakarta: Ditjen PUOD
Depdagri
Depdiknas. ( 1997
). Indonesia
Education Statistics. Jakarta: Balitbangdikbud
Fiske, E.B. (1996
). Decentralization of Education :
Politics and Concensus. Washington,
D.C. : World Bank.
Fisher, 1996. State and Local Public Finance. United
ofAmerica: Irwin
Gaffar,
M.Fakry.(2000). Pembiayaan Pendidikan:
Permasalahan dan Kebijak-sanaan Dalam Perspektif Reformasi Pendidkan Nasional.
( Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia
IV – Jakarta
Gaffar, M.F.
(1991). Konsep dan Filosofi Biaya Pendidikan. Mimbar Pendidkan, No.1
Tahun X, 1991: 56-60
Hannaway, J. &
Carnoy, M.eds. (1993). Decentralization
and School Improvement: Can We
Fulfill the Promise ? Sanfrancisco,
Calif.: Jossey-Bass.
Jalal,F. &
Supriadi, D. eds. (2001). Reformasi
Pendidkan Dalam Knteks Otonomi Daerah. Yogyakarta:
Adicita Karya Nusa.
Mc.Mahon ( 2001).
Improving education Finance In Indonesia.
Jakarta: Policy Research
Center, Institute For
Research and Development - UNESCO
Peraturan Pemerintah No. 25
Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai
Daerah Otonom.
Supriadi, D. (2001) SLTP Terbuka : Model Pendidikan Populis. Bandung: Lubuk
Agung.
Supriadi, D. (2003). : Satuan Biaya Pendidikan – Dasar dan Menengah. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah.
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar