Minggu, 02 November 2014

PAKET SUBSIDI PENDIDIKAN



PAKET SUBSIDI PENDIDIKAN
 (  Suatu pemikiran tentang alternatif  kebijakan  pembiayaan pendidikan )
Oleh  Budi  Sutrisno

Abstrak
            Adannya Undang-undang No. 22/99 dan Undang-undang No. 25/99 memberikan dampak yang amat serius terhadap sistem penyelenggaraan pendidikan dan terhadap kebijakan pembiayaan pendidikan. Perubahan pola sentralistik di bidang kebijakan pendidikan dapat berupa perubahan sistem manajemen maupun pembiayaan pendidikan. Disamping itu penetapan 20% APBN untuk anggaran pendidikan, memang memberikan angin segar bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Namun demikian selama ini ternyata sistem pendidikan nasional menyebabkan alokasi anggaran pendidikan hanya  terfokus kepada penyelenggaraan pendidikan oleh instansi pemerintah.  Sekolah-sekolah swasta yang sudah membantu dengan sukarela ikut menyelenggarakan pendidikan bagi masyarakat  hanya didukung oleh anggaran pendidikan dari keuangan publik yang sangat minim.
            Mengacu pada terjadinya dikhotomi perlakuan anggaran itulah, tulisan ini mencoba memberikan suatu alternatif kebijakan anggaran pembiayaan pendidikan yang dipandang lebih proporsioanal baik dalam proporsi antara daerah / propinsi /kodaya/kabupaten maupun  antara negeri dan swasta.
 
Pendahuluan
Anggaran pendidikan sebesar 20% dari total APBN sudah digariskan oleh pemerintah.. Kebijakan ini jelas mencerminkan kesadaran dan kepedulian akan pentingnya pendidikan bagi pembangunan sebuah bangsa.  Bersamaan dengan era otonomi daerah, memungkinkan terjadinya variasi anggaran antar daerah.   Penyebab variabilitas tersebut adalah adanya perbedaan kesadaran akan pentingnya pendidikan, konstelasi politik, dan vested interest lainnya di berbagai daerah,. 
Dibalik kebijakan yang positif itu, tentunya perlu dicermati bahwa selama ini ternyata sistem pendidikan nasional menyebabkan alokasi anggaran pendidikan  terfokus kepada penyelenggaraan pendidikan oleh instansi pemerintah.  Sekolah-sekolah swasta yang sudah membantu dengan sukarela ikut menyelenggarakan pendidikan bagi masyarakat  hanya didukung oleh anggaran pendidikan dari keuangan publik yang sangat minim. Sebagaimana kita ketahui sebagian besar  yayasan pendidikan swasta didirikan oleh yayasan pendidikan yang miskin  seperti yayasan  di bawah Muhammadiyah  dan Nahdatul Ulama, Taman Siswa, dan sebagainya. Asumsi atau pandangan bahwa swasta yang mendirikan pendidikan bermaksud beramal sebagaimana prakarsa orang kaya di negara maju, sama sekali  berbeda dengan kenyataan. Banyak pendidikan swasta hanya didirikan dengan maksud mulia, tetapi dengan kemampuan  pembiayaan minimal.
            Bagaimana kondisi sosial ekonomi guru di berbagai daerah, baik  guru negeri maupun swasta, merupakan pertanyaan  mendasar yang perlu diketahui secara publik sebagai bahan formulasi kebijakan. Guru merupakan komponen utama dalam peningkatan mutu pendidikan. Guru di samping diperlukan secara kuantitas, juga perlu dilihat kualitasnya. Pencapaian kualitas dapat ditempuh dari pendidikan formal, latihan–latihan, maintenance keilmuannya dilakukan dengan membaca buku-buku dan jurnal keilmuan secara mandiri. Untuk mencapai peningkatan kualitas mandiri tersebut sangat terkait dengan kondisi  sosial ekonomi, terutama pendapatan utamanya dari gaji .
Dengan demikian permasalahan utama dalam sistem angaran pendidikan kita, adalah keterkaitan antara sistem pembiayaan pendidikan, besar anggaran pendidikan, dan akibatnya terhadap kondisi ekonomi guru sebagai salah satu pita kualitas pendidikan. Secara lebih rinci permasalahan pokok tersebut terkait erat dengan kebijakan anggaran pendidikan antar daerah sebagai penunjang kualitas pendidikan, khususnya: 1) pola penyebaran anggaran pendidikan yang mencerminkan perimbangan antar daerah; 2) sistem distribusi dan proporsi anggaran pendidikan untuk sekolah negeri dan swasta; 3) peningkatan kondisi sosial-ekonomi tenaga kependidikan baik negeri maupun swasta; dan 4) formulasi pembiayaan pendidikan, baik negeri maupun swasta yang bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan.

Sistem dan Pola Pembiayaan
            Adannya Undang-undang No. 22/99 dan Undang-undang No. 25/99 memberikan dampak yang amat serius terhadap sistem penyelenggaraan pendidikan dan terhadap kebijakan pembiayaan pendidikan. Perubahan pola sentralistik di bidang kebijakan pendidikan, dapat berupa perubahan sistem manajemen maupun pembiayaan pendidikan. Namun demikian kekhawatiran yang diprediksi sebelumnya benar-benar mulai tampak, khususnya munculnya gejala anarki dalam penyelenggaraan pendidikan nasional termasuk pembiayaan.
The  state of art pembiayaan pendidikan nasional hanya dapat diungkap melalui data yang didokumentasikan dalam berbagai laporan dan hasil penelitian. Dua aspek utama pembiayaan yaitu revenue dan alokasi, menurut  Gaffar, M.F.  (2000: 11) tidak mudah ditelusuri secara lengkap. Kebijakan pembiayaan  dan kebijakan pendidikan  dalam budgetary process dan dalam alokasi dan distribusinya tidak selalu dapat ditelusuri secara konsisten. Terdapat kecenderungan umum, bahwa  antara kebijakan pembiayaan dan kebijakan pendidikan masing-masing berjalan sendiri-sendiri, karena menciptakan kondisi dan sinkronisasi kebijakan pada tingkat nasional tampaknya tidak mudah dilakukan. Selanjutnya ditegaskan bahwa sesuai visi dan misi serta tujuan pendidikan nasional, maka kebijakan pembangunan pendidikan dititik beratkan kepada 4 kebijakan, yaitu :  1) Peningkatan mutu pendidikan;  2) Pemerataan;       3) Relevansi;  dan 4) Effisiensi Manajemen.
Ditinjau dari segi jenis dan jenjang, kebijakan pembangunan pendidikan diletakkan pada fokus: Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun. Jenjang Pendidikan menengah tidak menerima prioritas, demikian pula untuk pendidikan kejuruan kurang memperoleh tekanan. Pada jenjang pendidikan tinggi, kebijakan selalu diletakkan kepada pengembangan sains dan teknologi, dan tidak pada ilmu-ilmu sosial maupun pada ilmu pendidikan termasuk pendidikan guru. Keseluruhan prioritas dan kebijakan tersebut bila dikaitkan dengan pembiayaan, amat sulit ditelusuri dampak kebijakan terhadap alokasi  dana.  Prioritas sulit dikaitkan dengan besarnya volume pembiayaan yang dialokasikan kepada pendidikan baik jenis, jenjang maupun aspek tertentu dari pendidikan tersebut. Dalam kaitannya dengan upaya membangun masyarakat  Indonesia baru, kebijakan  tersebut juga sulit diterapkan, karena adanya krisis nasional yang berkepanjangan yang sekaligus menyebabkan diperlukannya shif kebijakan  yang dititikberatkan kepada penyelamatan penyelenggaraan pendidikan nasional sehingga dapat mempertahankan apa yang telah dicapai.
Dari uraian di atas, adanya krisis multidimensional yang berkepanjangan  berdampak kepada keseluruhan kebijakan pembiayaan pendidikan dan kepada implementasi  penyelenggaraan pendidikan nasional secara keseluruhan. Perkembangan populasi usia sekolah, tuntutan globalisasi dan pasar bebas, tuntutan untuk merespon perkembangan teknologi dalam berbagai sektor kehidupan terutama dalam sektor bisnis dan ekonomi pada umumnya, merupakan tekanan berat terhadap dunia pendidikan nasional, yang belum dapat direspon  secara  berencana dan sistematis. Otonomi daerah  yang mengemuka akhir-akhir ini menuntut pendidikan untuk melakukan reorganisasi sistem secara total, dan ini memerlukan persiapan, perencanaan yang tidak dapat terhindar dari pembiayaan yang tinggi.
Perubahan atau reformasi pendidikan nasional dengan adanya otonomi daerah tidak dapat dihindarkan.  Dampak otonomi daerah tidak hanya pada sistem pendidikan, tetapi juga pada sistem pembiayaan pendidikan yang hingga saat ini masih tetap sentralistik. Dalam kultur anggaran di Indonesia, secara makro anggaran sektor pendidikan merupakan bagian terintegrasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Secara total, anggaran  sektor pendidikan yang mencapai 20% tidak hanya dialokasikan kepada Depdiknas, tetapi kepada semua departemen pemerintah yang menyelenggarakan satuan dan jenis pendidikan seperti Depag dan Depdagri.
Dalam konteks pembiayaan sekolah, terdapat suatu pola yang menarik, di mana distribusi alokasi anggaran, didasarkan pada jenis dan jenjang pendidikan serta berdasarkan  sumber dana. Dari total anggaran, ternyata 66 % anggaran pendidikan dialokasikan kepada persekolahan  dan hanya 28 %  yang dialokasikan kepada perguruan tinggi. Secara komprehensif, sebagian besar dana pendidikan dialokasikan kepada Depdiknas (51%), sejumlah 38% dialokasikan kepada Depdagri, dan hanya 4% yang dialokasikan kepada Depag, walaupun jumlah sekolah dan jumlah murid yang besar. Selain itu, sekolah  swasta terutama pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, tidak menggantungkan sumber dananya dari pemerintah baik melalui  Depdiknas, Depdagri maupun Depag. Dana pendidikan yang dialokasikan kepada Depdagri didistribusikan khusus untuk Sekolah Dasar, sedangkan dana yang dialokasikan kepada Depag  disebar kepada seluruh jenjang  dari jenjang madrasah pada Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi negeri yang berada dalam tanggung  jawab departemen tersebut.
            Pengeluaran total untuk sekolah negeri maupun swasta berdasarkan jenjang pendidikan dan sumber dana menunjukkan “proporsi yang tidak imbang”. Pengeluaran untuk  sekolah negeri mencapai 94% berasal dari pemerintah dan hanya 6% dari keluarga dan masyarakat. Sebaliknya sekolah swasta, sebagian besar dana berasal dari orang tua atau masyarakat mencapai 86% dan hanya 14%  berasal dari dana pemerintah.
Berdasarkan proporsi di atas, perlu diketahui unit cost per-siswa berdasarkan jenis  dan jenjang  persekolahan, baik negeri maupun swasta.  Pemaparan unit cost persiswa pertahun dapat memberikan gambaran nyata tingkat kemampuan bangsa dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa secara minimal sesuai kondisi kemampuan ekonomi nasional. Berdasarkan sumber ADB 1998 diketahui bahwa unit cost persiswa untuk Sekolah Dasar negeri dari berbagai sumber dana adalah Rp.190.000,- pertahun. Untuk SLTP sebesar Rp.287.000,-, untuk SMU Rp.407.000,-, dan untuk SMK Rp.497.000,- pertahun. Unit cost persiswa untuk sekolah-sekolah swasta ternyata lebih kecil, yaitu untuk Sekolah Dasar Rp.176.000,- per-siswa,  untuk SLTP  Rp.275.000,-  persiswa, untuk SMU Rp.342.000,- per-siswa, dan untuk SMK sebesar Rp.270.000,- persiswa untuk setiap tahunnya.

Otonomi Daerah
            Pemberdayaan masyarakat daerah melalui pelaksanaan otonomi daerah merupakan peluang masa depan yang memiliki banyak harapan. Yang menjadi permasalahan besar adalah apakah SDM dan kemampuan serta kesiapan daerah memungkinkan untuk menerima pendelegasian tersebut.
Konsekuensi logis dari otonomi pendidikan sekarang ini adalah perlunya melakukan penataan kembali sistem manajemen pendidikan daerah otonom. Artinya, di daerah otonom (Propinsi) perlu dipertimbangkan munculnya satu sistem pengelolaan pendidikan. Sistem manajemen yang bersifat multi-sistem yang dipandang tidak efisien  harus dilebur dan diciptakan suatu bentuk sistem tunggal yang bertanggung jawab dalam mengelola keseluruhan penyelenggaraan pendidikan di daerah. Dengan adanya integrasi sistem manajemen  ini maka efisiensi pengelolaan dapat diwujudkan, pemerataan dan keadilan dapat dibangun, dan kesempatan pendidikan untuk setiap orang dapat diberikan  dengan sebaik-baiknya.
Hubungannya dengan sistem pembiayaan pendidikan daerah, dipandang perlu untuk mengkaji pengembangan model-model yang ada.  Para ahli teori pembiayaan pendidikan telah lama mengembangkan berbagai model pembiayaan pendidikan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan secara merata dan adil. Salah satu model yang dapat diangkat dalam kajian ini adalah suatu konsep yang disebut dengan Foundation Program yang dikembangkan di USA dalam membiayai pendidikan untuk setiap negra bagian. Menurut konsep ini, dalam konteks implementasi otonomi  daerah dan kaitannya dengan mengembangkan sistem pembiayaan pendidikan daerah, pertama-tama perlu dibangun landasan dan prinsip sebagai pegangan. Prinsip-prinsip yang dapat diadopsi dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah adalah : 1) Pemerataan dan Keadilan (equality and equity) untuk memperoleh kesempatan pendidikan tidak hanya  antar daerah otonom di satu propinsi tapi antar propinsi dan antar daerah otonom.;   2). Equalizing power pada tingkat daerah otonom pada level kabupaten dan kotamadya, pada tingkat propinsi untuk seluruh daerah otonom di propinsi, dan tingkat pusat untuk seluruh daerah otonom pada setiap propinsi.; 3). Perimbangan keuangan baik pada tingkat propinsi, maupun pada tingkat pusat harus berfungsi sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa dan sebagai infrastruktur untuk melaksanakan equalizing  power dalam sistem pembiayaan pendidikan.;  4) Pada tingkat propinsi,  sistem pembiayaan pendidikan hendaknya didasarkan kepada prinsip partnership antara sumber dana untuk propinsi dan sumber dana daerah kabupaten dan kotamadya;  5)  Kemampuan daerah dan daya beli masyarakat daerah harus dijadikan dasar untuk menentukan pola distribusi dana untuk membiayai pendidikan di daerah tersebut.
Prinsip-prinsip di atas mengandung unsur-unsur  foundation  programs dan equalization  programs untuk kemudian dipergunakan sebagai dasar distribusi sumber dana bagi membiayai berbagai jenis dan jenjang pendidikan sesuai dengan kebutuhan pendidikan dari msayarakat.   Dua model utama sistem pembiayaan pendidikan dengan pola fikir otonomi daerah itu adalah:
1.      Flat Grants;
2.      Equalization Grants.
Dalam flat grants, kemampuan daerah atau daya beli masyarakat tidak dijadikan faktor variasi.  Faktor yang menentukan besarnya alokasi adalah besarnya enrollment siswa, dan pembobotan yang dipadukan ke dalam perhitungan unit cost persiswa pertahun. Sedangkan di dalam equalization grants, daya beli masyarakat atau local efforts  merupakan salah satu faktor dalam variasi pembiayaan. Ini berarti daerah yang kemampuannya lemah akan memperoleh dana yang lebih banyak dibanding daerah dengan kemampuan daya belinya tinggi.
Konsekueansinya, kontribusi daerah terhadap pendidikan harus lebih besar untuk mengimbangi jumlah dana yang dialokasikan  oleh daerah yang memiliki  equalizing power, seperti daerah propinsi.  Equalization  power ini memungkinkan daerah yang lemah akan tetap memiliki jumlah dana yang memadai karena adanya bantuan untuk pemerataan dan keadilan dalam pendidikan.

 Pembiayaan dan Kinerja Pendidikan
            Tentunya perlu dicermati secara seksama pelaksanaan otonomi daerah, karena dari pengalaman di sejumlah Negara, banyak kendala dihadapi yang mengakibatkan desentralisasi tidak menghasilkan perubahan yang positif dalam kinerja sistem pendidikan (Fiske, 1996:102; Hannaway & Carnoy, 1993:114; Jiyono dkk. Dalam Jalal dan Supriadi, 2001: 97). Rancangan yang baik dan tujuan yang ideal saja tidak cukup tanpa disertai komitmen yang penuh untuk melaksanakannya. Apa yang terjadi di Venezuella dapat terjadi di mana saja. Hanson ( Supriyadi  2003:11) melukiskan nasib desentralisasi pendidikan di negara itu sebagai “sangat elegan dalam rancangannya, comprehensive dalam cakupannya, mulia atau ideal dalam tujuannya, dan sempurna pula kegagalannya”.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada kinerja pendidikan di tingkat lokal, dengan indikator utama berupa pemerataan, mutu, dan akumulasi sumberdaya, merupakan tolok ukur keberhasilan desentralisasi pendidikan. Sebagai pembanding keberhailan desentralisasi pendidikan, di sini dipaparkan hasil studi Fiske tahun 1996 di beberapa negara wailayah Amerika Selatan, yang  menyimpulkan  bahwa dampak desentralisasi terhadap kemajuan pendidikan tidak sehebat yang diteorikan. Hal ini tampak dalam indikator berikut: (1)Tidak ada bukti yang menunjukkan  meningkatnya  akumulasi sumberdaya pendidikan yang digali dari masyarakat dan pemerintah daerah setelah dilakukannya desentralisasi; (2) Dalam meningkatkan jumlah siswa (enrollment) dan efisiensi internal pendidikan, desentralisasi bukan merupakan faktor yang penting. Meskipun enrollmet meningkat dan angka mengulang kelas serta putus sekolah menurun, kecenderungan ini bersifat umum, dalam pengertian bahwa hal yang sama terjadi juga di negara-negara lain yang tidak melakukan desentralisasi pendidikan.  (3) Desentralisasi, tidak memberi dampak yang berarti bagi  peningkatan mutu pendidikan, bahkan setelah desentralisasi, kesenjangan mutu antar sekolah semakin lebar.
            Pengalaman Negara-negara lain itu memberikan pelajaran bahwa setiap langkah desentralisasi perlu diikuti oleh pemantapan sistem penyelenggaraan pendidikan yang paralel dengan penyiapan sumberdaya manusianya terutama di tingkat daerah/lokal dan sekolah, sehingga mereka memiliki komitmen, integritas, dan konsistensi dalam  mencapai sasaran-sasaran pendidikan. Filipina, misalnya. Yang telah bergerak jauh dalam mendesentralisasikan urusan pendidikannya menetapkan sanksi yang berat terhadap setiap pelanggaran dan salah urus dalam pengelolaan pendidikan, terutama menyangkut dana.
            Desentralisasi / otonomi daerah memang membangkitkan banyak harapan pada masyarakat dan praktisi pendidikan di daerah yang justru bisa berbahaya apabila harapan itu tidak menjadi kenyataan, atau desentralisasi justru  lebih tidak menguntungkan dibanding dengan masa sentralisasi.  Gelagat ke arah itu mulai kelihatan, misalnya terjadinya “sentralisasi baru di daerah”, bertambahnya pungutan  kepada orang tua murid tanpa disertai transparansi dan akuntabilitas  dalam penggunaan dananya, sulit dan berbelit-belitnya sekolah  untuk mendapatkan dana operasional dari pemerintah kabupaten/ kodya, dan tumbuhnya semangat kedaerahan  yang dapat merugikan masa depan Negara Kesatuan ini.  
Untuk hal yang disebut terakhir, perlu digarisbawahi  tentang pengertian otonomi daerah dalam pendidikan, yaitu, “tidak ada otonomi pendidikan, yang ada adalah otonomi daerah dalam penyelenggaraan pendidikan” dengan tetap mengacu kepada rambu-rambu  atau standar-standar yang telah ditetapkan  secara nasional. Jadi tidak ada sistem pendidikan yang eksklusif  propinsi atau kabupaten/ kodya, yang ada adalah sistem pendidikan nasional.             Pernyataan tentang tidak adanya sistem pendidikan yang eksklusif tersebut dijamin oleh pasal 31  UUD 1945 ( hasil amandemen tahun 2002 ) yang salah satu ayatnya menyatakan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional, yang meningkatkan keilmuan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan  bangsa, yang diatur dengan Undang-undang” (ayat 3). Ayat ini merupakan penekanan dari apa yang tercantum dalam UUD 1945 yang diamandemen. Dikatakan penting karena pasal ini menekankan bahwa di Indonesia hanya ada satu sistem pendidikan, yaitu sistem pendidikan nasional Indonesia.
            Hal yang patut menjadi bahan pertanyaan adalah: dengan instrumen apa “satu sistem pendidikan nasional” itu diwujudkan ? Instrumen itu antara lain adalah adanya jalur, jernis, dan jenjang pendidikan  yang berlaku secara nasional, adanya kurikulum nasional, evaluasi belajar yang bersifat nasional, dan standar-standar yang beraku secara nasional, meskipun tingkat keterlaksanaannya di daerah-daerah mungkin saja berbeda-beda. Karakter lain yang mengikat adalah adanya tiga “core value” dalam Sisdiknas, yaitu imtaq, akhlak mulia, dan kecerdasan yang harus menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
            Dengan mengacu kepada uraian di atas, maka untuk mengukur sejauh manakah otonomi daerah memberikan kontribusi positif terhadap kemajuan pendidikan pada saat ini dan kelak, dapat digunakan beberapa kriteria sebagaimana dikatakan Supriadi (2000:14), sebagai berikut: 1) Secara kuantitatif, apakah terjadi peningkatan angka partisipasi pendidikan pada semua jenis dan jenjang  pendidikan yang ditangani  oleh daerah ? Apakah angka putus sekolah dan tinggal kelas sebagai indikator efisiensi internal pendidikan menurun ? 2) Secara kualitatif, apakah hasil belajar siswa meningkat dibanding dengan pada masa sebelum otonomi daerah ? Apakah budaya sadar mutu meningkat di kalangan aparatur pendidikan ? 3) Apakah partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan dalam bentuk kontribusi dana, sumbangan pemikiran, keterlibatan  dalam pengambilan keputusan, rasa memiliki terhadap sekolah juga meningkat  ? 4) Apakah tingkat kepuasan orang tua  dan masyarakat atas penyelenggaraan pendidikan bertambah setelah otonomi daeah atau justru menurun ? Apakah persoalan–persoalan  lokal (daerah, komunitas, sekolah) yang sebelumnya sulit dipecahkan dapat dipecahkan setelah dikembangkannya otonomi daerah ? 5) Apakah kondisi sarana dan prasarana pendidikan ( gedung, fasilitas belajar–mengajar) semakin  baik, tetap, atau justru semakin jelek setelah otonomi daerah ? 6) Apakah dana untuk sektor pendidikan yang dialokasikan oleh pemerintah daerah dalam RAPBD semakin meningkat, tetap, atau justru menurun setelah otonomi daerah ? 7) Apakah kinerja guru dan tenaga kependidikan lainnya (seperti kehadiran, kreativitas, komitmen pada mutu) dan tingkat kepuasan mereka meningkat dibandingkan dengan sebelum otonomi daerah, atau justru sebaliknya ?
            Kecenderungan  positif atas jawaban pertanyaan di atas, memberi petunjuk tentang adanya perubahan yang diinginkan, sesuai dengan apa yang dicita-citakan  oleh otonomi daerah, dan sekaligus sebagai indicator bahwa perhatian pemerintah daerah terhadap pendidikan meningkat.
            Dalam perspektif pembiayaan pendidikan, pelaksanaan otonomi daerah mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sistem alokasi dan manajemen pembiayaan pendidikan.. Kewenangan pemerintah pusat terbatas pada penetapan kebijakan yang bersifat makro dalam bentuk pengalokasian anggaran untuk sekolah-sekolah dengan mengikuti standar rata-rata, sedangkan kebijakan–kebijakan yang bersifat mikro, seperti alokasi dan distribusi anggaran pendidikan ke sekolah menjadi kewenangan daerah. Perubahan sistem pendidikan dari sentralisasi ke desentralisasi menuntut perubahan pula dalam sistem alokasi pembiayaan pendidikan, antara lain dengan menerapkan formula pembiayaan pendidikan yang didasarkan atas kebutuhan riil sekolah.  Formula pembiayaan yang dimaksud di sini adalah, “an agreed set of criteria for allocating resources to schools which are impartially applied to each school” (Caldwell & Ross, 1999:71;  Mc.Mahon, 2001:131). Formula dimaksud diperlukan untuk menjawab pertanyaan seperti, “berapakah jumlah dana yang perlu dialokasikan untuk sekolah-sekkolah” dan “faktor-faktor apakah yang harus diperhitungkan dalam menentukan alokasi dana untuk sekolah tertentu ?”        Jawaban yang jelas terhadap kedua pertanyaan itu akan mampu mencegah, atau paling tidak mengurangi  terjadinya bias atau penyimpangan lainnya dalam menentukan alokasi dana karena politik atau kepentingan lainnya ditingkat lokal. Di samping itu, perlunya formula pembiayaan yang berbasis kebutuhan sekolah terkait dengan terjadinya pergeseran dalam filosofi dan kebijakan pendidikan .

 Alternatif Pembiayaan Pendidikan yang Berkeadilan
            Bertolak pada formula pembiayaan pendidikan yang berbasis kebutuhan sekolah, suatu alternatif yang telah dikembangkan di negara-negara bagian di AS yang dikembangkan oleh Friedman ( Fisher, 1996: 324) adalah dengan sistem “voucher”. Filosofi sistem ini, adalah mencari pola yang dianggap paling adil dalam pengkontribusian dana pendidikan kepada semua lembaga pendidikan yang ada, baik negeri maupun swasta. Alasan utamanya adalah adanya partisipasi masyarakat/ swasta dengan pola swadana bersedia membantu program pemerintah untuk andil dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui penyelenggaraan sekolah “swasta”. Tentunya wajar jika kepada sekolah swasta dimaksud juga memperoleh bagian yang proporsional atas alokasi dana pendidikan dari pemerintah yang nota-bene adalah uang rakyat.  Sistem voucher dimaksud adalah :
Under an education  voucher system, all students would receive  a voucher worth $ X per year from the Government, which could only be spent  on education at any school of the student’s choice. For instance, a voucher  worth $5000 might fully cover the cost of attending the local public school or could be supplemented with private  funds to cover tuition  at a competing  private school. In fact, it would be possible that there be only private schools. A tuition tax-credit  plan would have  a similar effect. Families would receive a tax-credit for all or part of private school tuition, so that the government would provide  for a minimum amount of education for all student regardless of the school selected. The concept behind these plans is that the combination of individual choice of school coupled with direct competition among them would serve to improve  the overall education system. There are at least to concerns about this plans. One is that a greater division of school based on class or student ability would arise than exists now. Secondly, some argue that one important function of public schools is to educate students about differences among people partly  by bringing  together  students from very different backgrounds. Less of that might occur if individuals choose schools directly rather than indirectly through the choice of residential community.

            Nama sistem pembiayaan ini adalah “paket subsidi pendidikan”. Komponen kebijakannya:  (a) Tidak membedakan institusi di mana siswa belajar. Sesuai amanat pembukaan dan isi UUD’45, yang dibiayai adalah rakyat (siswa) dan bukannya institusi;  (b) Pada prinsipnya paket subsidi pendidikan berupa dua hal yaitu ”cheque pendidikan” plus bantuan guru-pemerintah; (c) Cheque pendidikan adalah cheque yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan atau pemerintah daerah sebagai bagian dari dana pemerintah pusat/ bisa juga daerah. Untuk membiayai pendidikan dengan cheque pendidikan pada dasarnya diberikan kepada siswa, terserah siswa menggunakan di insitusi pemerintah atau swasta; (d) Bantuan guru adalah alokasi guru yang dibayar yang bisa ditempatkan/ dipindahkan secara dinamis mengikuti perubahan dan perimbangan jumlah siswa di setiap sekolah sebagai contoh: bisa menempatkan/ memindahkan guru dengan rasio 1: X untuk sekolah negeri dan 1 : X/2 untuk sekolah swasta. Hal ini berubah dinamis tergantung di mana siswa membawa cheque pendidikannya. Ini artinya pemerintah mensubsidi 100 % biaya guru jika siswa memilih institusi negeri, dan mensubsidi 50 % biaya guru jika siswa memilih institusi swasta. Sedangkan subsidi untuk operasional sekolah yang diwujudkan dalam cheque, tidak dibedakan institusi negeri dan swasta; dan (e) Sistem tersebut akan mendorong sekolah menawarkan jasa pendidikan degan kualitas terbaik, supaya cheque pendidikan dialokasikan kepada sekolah-sekolah tersebut; (f) Sumber cheque pendidikan adalah APBN/APBD yang sekarang berlaku pengalihan subsidi BBM.
Jika konsep “sistem voucher  ini menjadi alternatif bagi pembenahan sistem pembiayaan pendidikan di Indonesia, sistem tersebut tentunya harus dimodifikasi dengan mempertimbangkan berbagai asumsi terkait. Asumsi dimaksud meliputi: 1) Telah tertanamnya budaya mutu dalam penyelenggaraan pendidikan, 2) Ketersediaan instrumen “input” pendidikan yang berkualitas, 3) adanya partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan, 4) Peran pemerintah yang terfokus pada aspek fasilitator di bidang penyelenggaraan pendidikan, dan 5) Kelengkapan komponen pendukung terciptanya kualitas penyelenggaraan pendidikan lainnya.

Kesimpulan
Sistem paket subsidi pendidikan sebagai modifikasi ’sistem voucher’, akan memberi kejelasan adanya keterkaitan antara kondisi sosial-ekonomi guru dan besarnya APBD, status institusi di mana guru bekerja, ekonomi masyarakat, dan sistem subsidi pendidikan antar daerah;  serta antara sistem pembiayaan pendidikan dengan kualitas pendidikan.
Keterkaitan antar variabel tersebut, paling tidak dapat membantu mengurai ’kerumitan’ sistem anggaran pendidikan antar daerah dalam era otonomi daerah. Dengan demikian diharapkan menjamin pula terciptanya sistem anggaran pendidikan yang berkeadilan dalam konotasi antar daerah dan ’antar negeri / swasta’.

Daftar Pustaka
Caldwel, B.J., Levacic, R. & Ross, K.N. (1999). The Role of Formula Funding  of Schools in Different Educational Policy Contexts. Dalam Ross, K.N. & Levacic, R., eds., Needs-based Resource Allocation in Education via Formula Funding of Schools. Paris: International Institute for Educational Planning, UNESCO
Ditjen PUOD. (1993 ) . Penelitian dan Pengkajian Satuan Biaya Sekolah Dasar. Jakarta: Ditjen PUOD Depdagri
Depdiknas. ( 1997 ). Indonesia Education  Statistics. Jakarta: Balitbangdikbud
Fiske, E.B. (1996 ). Decentralization of Education : Politics and Concensus. Washington, D.C. : World Bank.
Fisher, 1996. State and Local Public Finance. United ofAmerica: Irwin
Gaffar, M.Fakry.(2000). Pembiayaan Pendidikan: Permasalahan dan Kebijak-sanaan Dalam Perspektif Reformasi Pendidkan Nasional. ( Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia IV – Jakarta
Gaffar, M.F. (1991). Konsep dan Filosofi Biaya Pendidikan. Mimbar Pendidkan, No.1 Tahun X, 1991: 56-60
Hannaway, J. & Carnoy, M.eds. (1993). Decentralization and School Improvement:  Can We Fulfill the Promise ? Sanfrancisco, Calif.: Jossey-Bass.
Jalal,F. & Supriadi, D. eds. (2001). Reformasi Pendidkan Dalam Knteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Mc.Mahon ( 2001). Improving education Finance In Indonesia. Jakarta: Policy Research Center, Institute For Research and Development - UNESCO
Peraturan Pemerintah  No. 25  Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom.
Supriadi, D. (2001) SLTP Terbuka : Model Pendidikan Populis. Bandung: Lubuk Agung.
Supriadi, D. (2003). : Satuan Biaya Pendidikan – Dasar dan Menengah. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.


Mengakhlak-kan mata pelajaran dan mengintensifkan mata pelajaran akhlak




Mengakhlak-kan mata pelajaran
dan mengintensifkan mata pelajaran akhlak


pembuka ..................................



            Pembahasan ini kami awali dari adanya kesadaran bahwa Karakter/Akhlak SDM merupakan aspek penting dari kualitas suatu bangsa, karena dia turut menentukan kemajuan, harkat dan martabat  suatu bangsa. Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa emas namun kritis bagi pembentukan karakter seseorang. Hal ini dikuatkan oleh peringatan ajaran agama bahwa:

1.     “Allah membuat perumpamaan sebuah negeri yang dahulunya aman dan tenteram, rezeki datang kepadanya melimpah ruah di semua penjuru, lalu penduduknya mengingkari nikmat Allah, karena itu lalu Allah membiarkan mereka merasakan pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang mereka perbuat (Q.S. An-Nahl:112).

2.    2 Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik bagaikan pohon yang baik, akarnya kuat menghunjam ke bumi, (ranting) dan dahannya menjulang ke angkasa; pohon itu terus berbuah setiap saat (tiada henti) atas izin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan seperti itu agar manusia memperoleh peringatan” (QS Ibrahim 24-26)

3.     Nabi bersabda: Ketahuilah bahwa dalam diri setiap kalian ada ”mudghoh” (segumpal daging), jika mudghoh itu bersih maka semua yang ditampilkan oleh orang tersebut juga bersih (baik), dan jika mudghoh itu rusak maka yang ditampilkan oleh orang tersebut juga rusak (tidak baik). Ketahuilah bahwa yang disebut mudghoh itu adalah al-qolb (hati). (Al-Hadist)

Di samping itu di pertegas pula oleh
1.     Thomas Lickona (seorang profesor pendidikan dari Cortland University) mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda jaman yang kini terjadi, tetapi harus diwaspadai karena dapat membawa bangsa menuju jurang kehancuran. 10 tanda jaman itu adalah:

(1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja/masyarakat;
(2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk/tidak baku;
(3) pengaruh peer-group (geng) dalam tindak kekerasan, menguat;
(4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba;   alkohol dan seks bebas;     
(5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk;
(6) menurunnya etos kerja;
(7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru;
(8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan kelompok;
(9) membudayanya kebohongan/ketidakjujuran, dan
(10) adanya rasa saling curiga dan kebencian  antar sesama.

2.     Ajaran budaya kita dalam istilah ” lahir iku utusane bathin ” mengisyaratkan pada dimensi hukum sebab dan akibat, artinya bahwa kualitas lahiriah yang tampak , sangat ditentukan oleh kualitas bathin (Akhlak) –nya.
 Menyimak sebagian nilai-nilai luhur yang ada, yang kita yakini jika kita kelola dengan sunguh-sungguh, akan menjadi figur yang ”menjadi harapan bangsa”. Dengan pernyataan ini, maka dilingkungan pendidikan tentunya tidaklah cukup jika hanya membawa anak bangsa pada posisi “cerdas” dalam aspek intelektualitasnya,  namun masih perlu dilengkapi dengan kecerdasan “Akhlak”. Fakta menunjukkan bahwa suatu bangsa yang para pimpinannya “hanya cerdas dalam aspek inteletualitasnya, namun rendah kualitas akhlaknya”, hanya akan membaa kehancuran bagi bangsa dan negaranya.
 Berbicara mengenai karakter, Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi. Di sini nilai-nilai perilaku tidak terlepas dari apa yang telah tersimpan dalam memorinya untuk menjadi perilaku sehari-harinya. Dengan demikian keberadaanya bersumber dari aspek bawaan seseorang yang dibawa sejak lahir, di tambah hasil sensor inderawi atas objek lingkungan yang ditanam dalam memorinya.
Dengan demikian dimensi lingkungan termasuk lingkungan sekolah memiliki peran penting dalam pembentukan akhlak generasi muda yang nantinya diperlukan bai kemajuan bangsa.
Melalui peran lingkungan sekolah ini, yang konotasinya tidak dapat dilepaskan dari komponen-komponen temasuk keteladanan, dan aplikasi dari interaksi pembelajaran yang di dalamnya tercakup subyek guru – peserta didik – dan materi pembelajaran, dipenuhi dengan upaya menuju nuansa nilai-nilai agama – budi pekerti.
Dalam pelaksanaan sehari-hari, tentunya tidak kita pungkiri, bahwa masing-masing mata pelajaran masih berjalan sendiri-sendiri, dengan lebih menekankan aspek kognitif dan sedikit mengabaikan aspek afektif berupa nilai-nilai agama dan budi pekerti /karakter yang tersirat dalam masing-masing mata pelajaran umum. Demikian pula sebaliknya, mta pelajaran yang bernuansa aspek afektif, seperti Agama – PPKn – dan yang serumpun lainnya, kurang mengkaitakannya dengan nilai-nilai kognitif – psikomotorok.
Akhirnya, melalui moment yang berbahagia ini marilah kita merenungkan kembali tentang pentingnya pembangunan karakter dan mengkarakterkan nilai-nilai agama –budi pekerti kedalam setiap mata pelajaran.
Sekian,  wassalamu’alaikum wr. wb.




==========================