Jumat, 02 Maret 2012

KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF BUDAYA JAWA


KONSEP  KEPEMIMPINAN
DALAM  PERSPEKTIF  BUDAYA  JAWA
Budi Sutrisno


Pendahuluan
          Kepemimpinan pada hakikatnya merupakan serangkaian upaya memandu jalan dan membawa orang lain ke tujuan bersama. Konotasi dari pengetian ini menganggap bawahan sebagai sosok pasif yang mau ( terpaksa atau dengan kesadarannya ) mengikuti pemimpinnya.  Dalam era modern, di mana harkat dan martabat manusia didudukkan pada porsinya,  Slamet ( 2006) menegaskan bahwa kepemimpinan adalah interaksi antara pemimpin dan yang dipimpin untuk mengubah perilaku dan memberdayakan yang dipimpin sehingga yang dipimpin mampu memimpin dirinha sendiri. Kata kunci ‘interaksi’ dan ‘mampu memimpin dirinya sendiri’ menunjukkan suatu kemajuan pesat ilmu kepemimpinan dalam memandang manusia dalam suatu komunitas tertentu yang tetap mengangkat nilai-nilai kemanusiaan. 
            Bagaimana seorang pemimpin dapat memandu ke arah tujuan bersama dengan tetap mengangkat nilai-nilai kemanusiaan, manakala ia sendiri dalam kegelapan ‘visi’, melangkah dengan kelemahan ‘karakter’, dan bergerak maju tanpa kacamata ‘strategi yang tepat’ ?  Di sinilah pentingnya rujukan nilai-nilai kepemimpinan yang tidak saja berasal dari sumber teoritis, tetapi juga kebudayaan (jawa) serta agama (islam = selamat).
            Dalam tulisan singkat ini diungkap tentang apa dan bagaimana kepemimpinan dalam perpektif  budaya (jawa), yang diharapkan menjadi bahan kajian mendalam dalam mata kuliah “Pendekatan Difusi, inovasi dan teknologi” untuk dapat diangkat sebagai salah satu wacana dalam ilmu kepemimpinan.  Konsep kepemimpinan dalam perspektif agama (islam) sengaja tidak diangkat (secara detail) di sini, mengingat sudah banyaknya tulisan dimaksud pada berbagai majalah, media cetak, dan jurnal ilmiah.

Pengertian Kebudayaan.
Kebudayaan adalah hasil karya manusia dalam usahanya mempertahankan hidup, mengembangkan keturunan dan meningkatkan taraf  kesejahteraan dengan segala keterbatasan kelengkapan jasmaninya serta sumber-sumber alam yang ada di sekitarnya.  Kebudayaan boleh dikatakan sebagai perwujudan tanggapan manusia terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi dalam proses penyesuaian diri mereka dengan lingkungan. Kebudayan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk social yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi perwujudan dan mendorong terwujudnya kelakuan.  Dalam definisi ini kebudayaan dilihat sebagai ‘mekanisme kontrol’ bagi tindakan-tindakan manusia ( Gertz, 1973 dalam Kamanto, 1996), atau sebagai ‘pola-pola bagi kelakuan mansia (Keesing & Keesing, 1971 dalam Norhadiantomo, 1998).  Dengan demikian kebudayaan  merupakan serangkaian aturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana-rencana, dan strategi-strategi, yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif  yang digunakan secara kolektif oleh manusia yang memilikinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya (Spradley, 1972 dalam Http//www.kuliah.dinus.ac.id/edi-nur/mbbi/html )
            Kebudayaan merupakan pengetahuan manusia yang diyakini  akan kebenarannya oleh yang bersangkutan dan yang diselimuti serta menyelimuti perasaan-perasaan dan emosi-emosi manusia serta menjadi sumber bagi sistem penilaian  sesuatu yang baik  dan yang buruk, sesuatu yang berharga atau tidak, dan sesuatu yang bersih atau kotor.  Hal ini bias terjadi karena kebudayaan itu diselimuti oleh nlai-nilai moral yang sumbernya adalah  pandangan hidup, dan etos atau sistem etika  yang dipunyai leh setiap manusia ( Geertz, 1973 dalam Kamanto, 1996).
Kebudayaan yang telah menjadi sistem pengetahuan manusia, secara terus menerus dan setiap saat bila ada rangsangan, digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan  berbagai gejala dan  peristiwa sehingga kebudayaan yang dipunyai itu juga dipunyai oleh warga masyarakat.  Hal ini terjadi karena dalam kehidupan sosial selalu terwujud  berbagai kelakuan  dan hasil kelakuan yang harus mereka pahami agar keteraturan  sosial dan kelangsungan hidup dan kehidupan mereka sebagai makhluk sosial dapat dipertahankan.
Dalam pengalaman dan proses belajar manusia, diperoleh serangkaian pengetahuan mengenai symbol-simbol. Simbol adalah segala sesuatu yang memiliki arti tertentu. Simbol adalah komponen utama perwujudan kebudayaan, maka dengan adanya simbol-simbol ini kebudayaan dapat dikembangkan. Di dalam setiap kebudayaan, simbol-simbol yang ada cenderung dimengerti oleh warganya berdasarkan  atas konsep-konsep  yang mempunyai makna yang bersifat relatif tetap.

Huruf Jawa dan Konsep Kepemimpinan
            Sepanjang sejarah kebudayaan jawa, telah dikenal beberapa tulisan asli yang disebut abjad Jawa yang terdiri dari  20 huruf yang membentuk kalimat: ”ha   na  ca  ra  ka  da  ta  sa  wa  la  pa  dha  ja  ya   nya   ma  ga  ba  tha  nga”. Ki Hajar Dewantara ( http://kuliah.dinus.ac.id/edi-nur/mbbi/html), menegaskan bahwa makna huruf jawa, mengandung nilai-nilai  budi pekerti dan filosofi kehidupan yang sangat tinggi dan luhur.

Adapun makna yg dimaksud adalah sebaai berikut :
Ha ( Hurip )   : hidup (huruf pertama merupakan huruf hidup)
Na ( Legeno )            : telanjang bulat tidak membawa apa-apa
Ca ( Cipta )    : pemikiran, ide, ataupun kreatifitas
Ra ( Rasa)      : perasaan, qalbu, suara hati atau hati nurani
Ka ( Karya )  : bekerja atau pekerjaan

1.      Ha-Na-Ca-Ra-Ka, bahwa saat pertama kali manusia itu dilahirkan kedunia ini, dalam keadaan telanjang bulat dan tidak membawa apa-apa, kecuali dibekali cipta, rasa dan karsa untuk hidup dalam kehidupan di dunia fana.  Dalam konteks kepemimpinan, ketiga tersebut harus dipadukan dalam bentuk kekuatan guna memandu kearah jalan menuju tercapainya tujuan bersama. Implementasinya adalah bahwa aspek karya harus dilandasi cipta. Dan aspek cipta harus dikonsultasikan kepada rasa.
2.       Masyarakat Jawa sangat percaya bahwa ”rasa” ataupun suara hati nurani ataupun suara qalbu adalah merupakan suara ataupun petunjuk yang datangnya dari Sang Pencipta. Karena itu dalam proses pengambilan keputusan ataupun segala tindakan seorang pemimpin harus berdasar “rasa”.
3.      Dari sisi lain, konsep Ha-Na-Ca-Ra-Ka juga mengajarkan agar pemimpin itu bekerja dengan cerdas (cipta), bekerja dengan ikhlas (Rasa) dan bekerja dengan sekuat tenaga (Karya).

Da  ( Dodo )            : dada
Ta   ( Toto )             : atur
Sa   ( Saka )             : tiang belandar, tiang penyangga
Wa ( weruh )           : melihat (huruf ini tidak konsisten dengan singkatan)
La  (lakuning urip)   : Makna kehidupan
          Da-Ta-Sa-Wa-La, dadane ditata men iso ngadeg jejeg koyo soko lan iso weruh (mangerteni) lakuning urip. Dengarlah suara qolbu (nurani) yang ada di alam dada, agar dapat berdiri tegak seperti halnya tiang penyangga dan juga akan mengerti makna kehidupan yang sebenarnya.  Evaluasi secara terus menerus terhadap pikiran, ide ataupun suara hati dan pelaksanan kerja yang ada agar tetap terus berada pada tangga yang benar dan lurus. Tanpa kenal putus asa, pada jalan kebenaran yang sangat luas (iso ngadeg jejeg koyo soko lan ngerti lakuning urip sing kang sejati = mengerti persoalan yang sebenarnya). Perilaku pimpinan harus didasarkan pada kecerdasan otak, kecerdasan emosi dan juga kecerdasan spiritual.

Pa-Da-Ja-Ya-Nya     : sama kuat; Sifat yang baik dan buruk yang juga diberikan kepada manusia sejak dilahirkan, mempunyai kekuatan yang sama, dan manusia diberi hak sepenuhnya untuk memilih. Di sini proses kepemimpinan dihadapkan pada dilema hakiki berupa ketepatan pilihan untuk meraih masa depan bagi kesuksesan bersama.

Ma  (Suksma)           : suksma, ruh, nyawa
Ga   (Raga)                : badan, jasmani
Ba-Ta (batang)          : mayat
Nga  (Lungo)             : pergi

1.      Ma-Ga-Ba-Ta-Nga, Selama suksma (ruh, nyawa) masih bersatu dengan jasmani atau badan, maka sifat baik dan buruk tetap ada pada diri manusia. Kesadaran tentang proses akhir dari hidup manusia, merujuk pada ajaran sangkan paraning dumadi, asal muasal kehidupan dan akhir kehidupan itu. Proses kepemimpinan yang mensinergikan daya cipta – rasa – kersa pada akhirnya, tetap harus bersandar kepada ketetapan Sang Pencipta.  Kesadaran yang mendalam semacam ini perlu ditananmkan kepada seluruh anggota oraganisasi, guna menghindari terjadinya frustasi – dan ekses negatif  karena suatu kegagalan.
2.      Nilai positif yang dapat diambil dengan kesadaran di atas, adalah tetap terkendalinya emosi, guna menjamin semangat kerja keras dengan dilandasi kemantapan sinergi dari 3 aspek tersebut

Konsep Menang Tanpa Ngasorake
Guru muride dewe, murid guruning pribadi, pamulange sangsaraning sesami. Sugih tanpa bandha, nglurug tanpa bala, digdaya tanpa aji, menang tan ngasorake lan weh-weh tanpa kilangan”. Konsep ini berasal dari Dr. RM. Sosro Kartono ( http//www.kuliah.dinus.ac.id/edi-nur/mbbi/html ), yang dikenal sebagai guru spiritual dari Bung Karno dan adik kandung dari RA. Kartini.
Adapun makna dari konsep ini adalah:
1.      Guru muride dewe - murid guruning pribadi, pamulange sangsaraning sesami.
a.      Sebelum menjadi guru bagi orang lain, jadilah guru bagi diri kita sendiri. Guru itu selalu diikuti, didengar, atau dilihat oleh muridnya. Tetapi sebelum mengikuti, mendengar atau melihat orang lain, maka ikutilah, dengarkanlah dan lihatlah diri sendiri terlebih dahulu. Saat tidak mengikuti, mendengar ataupun melihat orang lain, akan dirasakan kesepian, kesendirian dan ketakutan. Kenapa takut dalam kesendirian? Karena akan berhadapan dengan diri sendiri yang apa adanya, yaitu hampa, tumpul, bodoh, buruk, bersalah dan gelisah. Suatu kesatuan yang remeh, buruk dan rongsokan. Dari ajaran ini akan muncul kesadaran diri, dengan memunculkan sebuah pertanyaan ”Apa yang dapat disombongkan, bukankah dirimu hanyalah sebutir debu di padang debu ?  dan mengapa tidak segera berserah diri kepada Sang Pencipta ?
b.      Secara inti, ajaran ini mengajak untuk introspeksi dan mawas diri bahwa manusia itu sebenarnya sangat lemah dan tak berdaya. Ajaran ini ditutup dengan kalimat agar tidak sombong dan segera berserah diri pada Sang Pencipta. Dengan demikian Kepemimpinan  dalam ajaran ini,  menitik beratkan kepada pemilikan kompetensi dan profesionalitas yang tinggi guna menjadi panutan bagi yang dipimpin, dan sekaligus sebagai rasa pengabdian yang mendalam atas Rahmat Yang Maha Kuasa.
 
 2. Sugih tanpa bandha, nglurug tanpa bala, digdaya tanpa aji, menang tan ngasorake lan weh-weh tanpa kilangan.
a. Kenikmatan yang dilimpahkan kepada kita sudah sedemikian besar, seperti halnya kesehatan, kepandaian, kebahagiaan, kewaspadaan, keluarga, sahabat dan lainnya, itulah kekayaan yang tak ternilai harganya. Kemengan sejati adalah mengalahkan diri sendiri dengan cara mangendalikan diri dari segala lingkaran nafsu yang menyesatkan. Bertindaklah seperti seorang guru, walaupun seriap hari memberikan ilmu yang bermanfaat guna memerangi kebodohan, namun sang guru malah bertambah pintar.
b. Dalam ajaran etika jawa, terdapat 4 nafsu manusia yang harus dikendalikan oleh rasa atau hati nurani, yaitu:
1). Aluamah, yaitu nafsu yang menyebabkan manusia mempunyai rasa lapar, haus, ngantuk, malas.
2). Amiarah, yaitu nafsu yang menyebabkan manusia bisa marah, iri, dengki
3). Mutmainah, yaitu nafsu yang menyebabkan manusia menjadi tamak, serakah, kikir, mementingkan diri sendiri.
4). Supiah, yaitu nafsu yang menyebabkan manusia mempunyai sifat ingin memiliki, ingin senang, ingin indah, ingin enak.
3. Nglurug tanpa bala, digdaya tanpa aji, menang tan ngasorake, juga bisa diartikan untuk menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru. Karena itu disarankan untuk selalu berpikir secara matang sebelum bertindak dan mengadakan evaluasi secara terus-menerus.

Konsep Eling lan Waspada
            Kalimat eling lan waspada sebenarnya berasal dari cuplikan Surat Kalatida yang ditulis oleh pujangga kraton Surakarta Raden Ngabehi Ronggowasito (15 Maret 1802 s/d 24 Desember 1873), tetapi ada juga yang mengatakan bahwa ini merupakan karya sastra dari Prabu Joyoboyo selaku raja di-Kediri (Anjar Any, 1989  dalam Http//www.kuliah.dinus.ac.id/edi-nur/mbbi/html ).
            Adapun petikan ‘Surat kalatida’ yang dimaksud adalah sebagai berikut:..Amenangi jaman edan, ewuh aya ing pambudi, melu edan nora tahan, yen tan melu anglakoni, boya kaduman melik, kaliren wekasanipun, ndilalah karsa Allah, begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lawan waspada....”.  Terjemahan bebasnya adalah:” Hidup di dalan jaman edan, memang repot. Akan mengikuti tidak sampai hati, tapi kalo tidak mengikuti geraknya jaman tidak akan mendapat apapun juga. Akhirnya dapat menderita kelaparan. Namun sudah menjadi kehendak Tuhan. Bagaimanapun bahagianya orang yang lupa, masih lebih bahagia orang yang senanntiasa ingat dan waspada.
            Kalimat ”luwih begjo kang eling lan waspada” pada bait terakhir ‘serat kalatida ‘ di atas, dapat diartikan:
Sebagai makhluk Tuhan diminta untuk senantiasa eling ataupun mengingat akan ajaran dan larangan Tuhan. Apa yang menjadi ajaran-Nya kita jalankan dengan sepenuh hati, dan di samping itu kita juga meninggalkan apa yang menjadi larangan-Nya. Dengan perilaku yang selalu eling, maka Tuhan akan memberikan pelbagai petunjuk tentang apa yang harus kita lakukan secara baik dan benar, dan inilah yang dimaksud dengan kalimat ”luwih begja kang eling lawanwaspada”.
Petunjuk yang datang dari Tuhan bisa berujud adanya suatu pemikiran yang cerdas untuk mengatasi berbagai kesulitan ataupun hambatan, keberanian ataupun ketabahan dalam menghadapi cobaan, kedewasaan dalam berpikir, kesehatan yang prima, keluarga yang sejahtera dan bahagia. Sebagai makhluk sosial, kita diminta untuk selalu ’eling’ untuk bersedia menyesuaikan diri dalam  kehidupan bermasayarkat. Dengan perilaku tersebut, kita akan menghargai hak dan kewajiban masing-masing orang.
   Secara umum konsep ini menekankan adanya dua dimensi yang sama kuat, yaitu dimensi ke-Tuhanan dan dimensi Kemanusiaan. Oleh karenanya kepemimpinan dalam ajaran ini mengedepankan  nilai keseimbangan antara pencapaian duniawi dan ukhrowi sebagai bentuk pengabdian ”ciptaan kepada Penciptanya” . Refleksi dari pola ini adalah terbentuknya nilai keteladanan.
Konsep Hasta Brata dari Mangkunagoro I
Dan Semboyan Pimpinan dari Ki Hajar Dewantoro
Nilai keteladanan dalam proses kepemimpinan yang diangkat dari budaya jawa, ditegaskan dalam 8 sifat teladan dari figur pemimpin dalam melaksanakan fungsi kepemimpinannya sebagaimana ajaran ”Hasta Brata” ( Fananie, 2005 ).  Ajaran ini mengangkat sifat positif dari simbol – simbol alam yang berupa:  Surya, Candra, Kartika, Angkasa, Maruta, Samudra, Dahana dan Bhumi.
1. Surya (Matahari) memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan. Pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan daya hidup rakyatnya untuk membangun bangsa dan negaranya.
2. Candra (Bulan) , yang memancarkan sinar ditengah kegelapan malam. Seorang pemimpin hendaknya mampu memberi semangat kepada rakyatnya ditengah suasana suka ataupun duka.
3. Kartika (Bintang), memancarkan sinar kemilauan, berada ditempat tinggi hingga dapat dijadikan pedoman arah, sehingga seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan bagi untuk berbuat kebaikan
4. Angkasa (Langit), luas tak terbatas, hingga mampu menampung apa saja yang datang padanya.Prinsip seorang pemimpin hendaknya mempunyai ketulusan batin dan kemampuan mengendalikan diri dalam menampungpendapat rakyatnya yang bermacam-macam
5. Maruta (Angin), selalu ada dimana-mana tanpa membedakan tempat serta selalu mengisi semua ruang yang kosong. Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyat, tanpa membedakan derajat da martabatnya.
6. Samudra (Laut/air), betapapun luasnya, permukaannya selalu datar dan bersifat sejuk menyegarkan. Pemimpin hendaknya bersifat kasih sayang terhadap rakyatnya
7. Dahana (Api), mempunyai kemampuan membakar semua yang bersentuhan dengannya. Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan berani menegakkan kebenaran secara tegas tanpa pandang bulu
8. Bhumi (bumi/tanah), bersifat kuat dan murah hati. Selalu memberi hasil kepada yang merawatnya. Pemimpin hendaknya bermurah hati (melayani) pada rakyatnya untuk tidak mengecewakan kepercayaan rakyatnya.
Di samping penekanan pada keteladanan positif dari sifat-sifat alam, Ki hajar Dewantoro, juga mengajarkan konsep kepemimpinan yang fleksibel yang hingga kini menjadi simbol bagi Depdiknas, yaitu ” Ing ngarso sung tuladha, Ing Madya mangun karsa, Tut wuri handayani ” atau terjemahan dalam bahasa indonesia : ”Di depan memberi teladan, di tengah membangkitkan semangat, di belakang memberi dorongan kekuatan” .  Konsep ini menekankan perilaku aktif  - positif,  dari seorang figur bukan saja ’guru’, melainkan mereka yang berjiwa pemimpin. Di manapun dan kapanpun ia berada,  senantiasa akan memberi manfaat positif  sesama dan lingkungannya. 
Operasionalisasi dari nilai-nilai sifat kepemimpinan tersebut, dapat dinyatakan dalam ”tembung-Jawa”  sebagai berikut:
  • Momot artinya menunjuk kepada kemampuan dan kemauan pimpinan dan para yang ditokohkan untuk menampung dan memperjuangkan aspirasi wong cilik,
  • Momor, dapat menyatu dengan rakyat. Wong gede hendaknya dapat “manjing ajur ajer” dalam kondisi dan situasi apapun demi tercapainya perubahan,
  • Memet, artinya teliti,
  • Mapan berarti stabil, konsisten dan adil,
  •  Mituhu, berarti mematuhi peraturan, tuntunan, wewaler dan angger-angger,
  • Mitayani artinya menghendaki pimpinan agar memberikan manfaat bagi sesama dan lingkungannya

Kesimpulan
1.      Bahwa nilai-nilai budaya – jawa, mengajarkan kepada seorang pemimpin dalam proses kepemimpinannya untuk senantiasa mengangkat harkat kemanusiaan, dan tidak mengesampingkan kesadaran pencapaian kebahagiaan di dunia dan akhirat. Pemimpin – teladan dalam bentuk kerja keras dalam keseimbangan cipta-rasa-karsa tetap ditekankan dalam budaya – jawa.
2.      Kepemimpinan, dalam konteks menuju kepada kedewasaannya, dimulai dari ”pola instruksional” (leadership by power) , dan berlanjut pada ” pola keteladanan ” ( leadership by sample) yang mengedepankan partisipasi dan bersifat mendorong ( enganging and encouraging leadership ) dan akhirnya diperlukan ”pola suportif dan simulatif” di saat sifat keteladanan lebih mengemuka.



Daftar Bacaan

Fananie, Zainuddin. 2005.  Restrukturisasi Budaya Jawa – Perspektif KGPAA MN.1.  Surakarta: Muhammadiyah University Press


Http//www.kuliah.dinus.ac.id/edi-nur/mbbi/html

Kamanto, Sunarto. 1996. Sosiologi – Antropologi. Jakarta: PPFEUI

Norhadiantomo, 1998.  Antropologi Budaya, Jakarta: PPFSPUI

Slamet PH. 2001. Karakteristik Kepala Sekolah Tangguh. Jakarta:Balitbang Depdiknas.

============================================================

AVICTORY DALAM INOVASI PROGRAM